Rabu, 21 Desember 2016

Siti Hajar, Wanita Teladan yang pertama tinggal di Masjidil Haram

Siti Hajar adalah istri Nabi Ibrahim dan ibu dari Nabi Ismail as. Ia merupakan seorang wanita yang dihormati dalam agama Islam. Sebagaimana dikemukakan dalam kisah sebelumnya, bahwa Hajar pada awalnya adalah seorang pelayanan yang dihadiahkan Raja Firaun kepada Sarah, istri nabiyullah Ibrahim as. Dalam sejarah disebutkan bahwa Hajar merupakan seorang tokoh wanita yang mulia, ibu Nabi yang sabar, dan istri Nabi yang merupakan satu umat, kendati sendirian, ia wanita mulia bagi Ibrahim as.

Kekasih Allah, Ibrahim as. sangat merindukan anak dan keturunan. Beliau berdoa kepada Allah swt, baik dengan cara pelan-pelan maupun terang-terangan, agar Allah memberi beliau anak yang saleh. Doanya ini kemudian direkam dalam al-Quran: “Ya Tuhan kami, berikanlah kepada kami keturunan yang saleh.”
Untuk menjawab doa Ibrahim as., Allah menakdirkan Ibrahim bertemu dengan Hajar, yang kemudian menjadi Ibu Nabi Ismail as., ibu orang-orang Arab, ibu umat terbaik yang dikeluarkan untuk umat manusia. Hajar dihormati sebagai ibu pemimpin yang sangat penting, karena melalui Nabi Ismail as., ia menurunkan Nabi Muhammad SAW.

Di rumah Ibrahim, Hajar mendengar apa saja yang dikatakan dan didakwahkan Ibrahim. Sungguh ucapan Ibrahim as. adalah ucapan indah yang masuk ke dalam jiwa dan meninggalkan bekas yang baik di hatinya. Hajar merasa rohnya bersinar dengan sinar Ilahi. Ia merupakan wanita yang sangat tulus kepada majikannya; mencintai majikan wanitanya, mengabdi kepadanya dengan sempurna, melihat banyak hal pada diri Sarah yang tidak ia lihat pada wanita-wanita lain.

Suatu saat, Hajar mendapati Sarah sedang berdiri mengerjakan shalat, ia mendengar Sarah membaca ungkapan yang tidak ia pahami. Hanya saja, Hajar merasa bahwa ada percikan cahaya yang jatuh berguguran ke dalam jiwanya, ia merasa bahwa kedamaian merasuk ke dalam hatinya. Setelah itu, dengan santun dan malu, Hajar menghampiri dan bertanya kepada majikannya yang ahli ibadah, wanita taat. Ia bertanya: “Majikanku, Tuhan apa yang engkau sembah?” Kemudian Sarah berkata kepada Hajar dengan keimanan orang-orang yang tekun beribadah dan cahaya keyakinan: “Wahai wanita yang baik, kami menyembah Allah, yang tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Dia. Dia adalah pencipta langit dan bumi, Tuhan segala sesuatu, Maha Pencipta, dan Pencipta segala sesuatu, Dia-lah yang menghidupkan dan yang mematikan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.”

Sarah mulai menanam benih-benih iman dan bibit-bibit keyakinan pada diri Hajar, yang jiwanya merespons isyarat-isyarat iman dari Sarah. Ia menyampaikan apa-apa yang didakwahkan oleh suaminya, Ibrahim as. Dari situlah cahaya iman benar-benar menutupi hati Hajar. Hajar merasa bahwa sentuhan cahaya halus menembus jiwanya dan menyentuh hatinya, ia merasa dekat dengan sumber-sumber kebaikan dan mata air cahaya. Sekarang ia merasakan kehangatan iman dan keagungan dalam berhubungan dengan Allah swt.
Singkat cerita, setelah Hajar melahirkan Ismail, Sarah mulai merasa cemburu, ia meminta Ibrahim untuk membawa mereka pergi darinya. Allah mengungkapkan kepada Ibrahim bahwa ia harus mengambil Hajar dan Ismail, dan membawa mereka ke Mekah. Akhirnya, Nabi Ibrahim pun membawa Hajar dan Ismail, namun kemudian meninggalkan mereka, dan kembali ke Palestina. Sebelum Nabi Ibrahim kembali ke Palestina, Hajar bertanya kepadanya: “Untuk siapa kau meninggalkan kami di lembah ini dan dibiarkan begitu saja? Apakah Allah memerintahkan Anda untuk melakukan hal ini?” Nabi Ibrahim menjawab: “Ya”. Hajar kemudian berkata: “Kalau begitu, Allah tidak akan menyebabkan kita hilang.”

Dalam kondisi seperti itu, Nabi Ibrahim berserah diri kepada perintah Tuhannya, dan ia tetap bersabar menanggung perpisahan dari istri dan anaknya. Kemudian ia berdoa: “Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati. Ya Tuhan kami, (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezekilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur” (QS. Ibrahim: 37).

Karena kelangkaan air di padang gurun, ibu dan anak itu menderita kehausan. Siti Hajar berlari antara bukit Shafa dan Marwah untuk mencari air untuk anaknya. Setelah tujuh kali berputar di antara dua bukit, malaikat muncul di hadapannya. Malaikat membantu dan mengatakan kepadanya bahwa Tuhan telah mendengar tangisan Ismail, dan Dia akan menyediakan mereka air. Pada saat itu, Allah mengeluarkan air dari tanah di mana tumit Ismail berbaring. Mata air itu kemudian bernama zam-zam, dan menjadi sumber air suci.
Peristiwa yang dijalaninya antara Bukit Shafa dan Marwah dikenang oleh umat Islam saat mereka menunaikan ibadah haji, yakni yang dinamakan dengan sya’i (berlari-lari kecil sebanyak tujuh kali antara bukit Shafa dan Marwah). Kegiatan ini merupakan bagian integral dari ibadah Haji dan Umrah, yang melambangkan Hajar mencari air untuk diberikan kepada putranya, Ismail.

Kegiatan ritual berlari kecil tersebut dimulai dari Bukit Shafa yang terletak sekitar setengah mil dari Kakbah. Sementara Marwah terletak sekitar 100 m (330 kaki) dari Kakbah. Jarak antara Shafa dan Marwah adalah sekitar 450 m (1.480 kaki), sehingga tujuh kali putaran berjumlah sekitar 3,15 km (1,96 mil). Itulah bentuk perjuangan seorang ibu demi keselamatan anaknya dari kehausan dan kelaparan di padang pasir. Atas kekuasaan Allah, air zam-zam ini tidak pernah habis dan tidak akan pernah habis selamanya hingga hari kiamat nanti.[Sumber Heri Gunawan, S.Pd.I., M.Ag.]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar