Rabu, 28 Desember 2016

Rindu Baitullah.. Ku Ingin Kembali..


Jelang subuh merambati
Memasuki halamanmu terbayang Masjidil Haram Makkah Al-Mukarramah mendera-dera
Di depan Ka'bah pertama kali kulantunkan do'a untukmu berjuta deras air mata mengalir
Tatkala dahi bersujud di permaidani masjid-Mu
Terasa gigilan yang amat sangat
Sebab menahan rasa haru dan syukur
Subhanallah...
Hanya Engkau ya Allah, yang mengetahui setiap apa yang tersembunyi di balik hati ini
Yang tak mampu tertuang dengan sebatas kata
Rindu Baitullah

Setiap kali azan berkumandang di bumi penuh berkah
Setiap kali kaki berjalan memenuhi
Tiada lelah seakan rindu bertemu dengan-Mu
Menjadi aliran energi kehidupan tak bertepi
Subhanallah...
Maha Suci Allah Yang Menciptakan Alam Duniawi...
Menumbuhkan rindu berapi-api akan Tanah Suci
Rindu ingin selalu beribadah tiada henti
Rindu melantunkan do'a dan mengadu pada-mu.
Menangis dan bermunajat kehadirat-Mu

Rindu pada harumnya Ka'bah yang mulia
Ingin bertawaf memuliakanmu
Rindu pada Safa Dan Marwa yang mengajarkan makna beribu pengorbanan Siti Hajar dan Nabi Ismail
Rindu air Zam-Zam-Mu yang mampu mengusir dahaga berjuta tamu-Mu yang datang ke rumah mulia-Mu

Ya Allah... Duhai  Ar-Rahmaan, Ar-Rahiim, Al-Maalik, Al-Qudduus, As-Salaam...

Batinku bagai dimensi tak berbingkai
Saat diriku bersujud hina di hadapan Ka’bah...
Begitu dekat terasa dengan-Mu
Untaian do'a dengan menangis di Multazam, Tempat paling mustajab
Tempat semua doa akan terjawab
Dalam balutan kain putih
Bersama jiwa-jiwa lain yang merindu pada-Mu
Yang datang dengan totalitas hati jiwa dan raga
Untuk menjadi tamu-Mu

Dengan hati bergetar, lisan yang berucap ‘Labbaik Allaahumma labbaik, labbaika laa syariikalaka labbaik. Innalhamda wanni’mata, lakawal mulk, laa syariikalak.’ MenujuMu...Menyahut seruanMu.. Berakhir di pelukanMu...
Subhanallah...

Ya Allah,  Engkau mengundangku ke rumah agung-Mu
Kiblat umat muslim sepenjuru dunia
Mungkinkah Engkau memperkenankan aku datang bertamu lagi
Pada diri yang penuh peluh noda dan alfa
Dengan segenap kerinduan yang menggunung Aku akan datang lagi, dengan izin-Mu
Meski harus tertatih...
Meski harus menyeret langkah
Dengan serpihan cinta yang kurekatkan rapat-rapat
Aku ingin kembali
Menjadi tamu-Mu

Ya Allah, ya Robbi...
Betapa rindu aku ingin kembali...
Aku bagaikan petualang yang telah lama tidak pulang dan merasa ingin kembali...
Betapa aku berharap, kerinduan ini cukup untuk menghantarkanku ke Mekkah dan Madinah kembali
Tempat  Rasulullah, sang habibullah berawal dan berakhir...
Menyampaikan salam kepada Rasulullah di Raudhah...
Menyungkurkan taubatku di hadapan kesaksian Ka’bah
Tempat cahaya keislaman memancar dan menjadi ‘rahmatan lil ‘aalamin’...
Tempat terindah untuk dijadikan kiblat di setiap langkah mereka yang mengaku hamba Allah...
Dengan lantunan ayat suci qiyamullail yang menghidup nadi imanku...
Dengan salawat kerinduan pada kekasihMu yang mendamai ragaku...

Aku ingin bertemu kembali ya Rabbul ‘Izzati...
‘Labbaik Allaahumma labbaik, labbaika laa syariikalaka labbaik. Innalhamda wanni’mata, lakawal mulk, laa syariikalak.’ MenujuMu...Menyahut seruanMu.. Berakhir di pelukanMu...

Hingga kini masih kurasa rindu itu
Pada Tanah Haram bumi penuh berkah-Mu
Semoga Allah mengizinkan untuk datang bertamu
Sebelum badan dikandung tanah...

"Wahai Tuhan kami! Terimalah daripada kami (amal kami); sesungguhnya Engkaulah yang Maha Mendengar, lagi Maha mengetahui [al-Quran, al-Baqarah:127]

Ya Allah, izinkan aku kembali...

oleh : Muthi' Masfu'ah Ma'ruf  (Ketua Perempuan Penulis Gagas Citra Media dan Rumah Kreatif Salsabila)

Rabu, 21 Desember 2016

Siti Hajar, Wanita Teladan yang pertama tinggal di Masjidil Haram

Siti Hajar adalah istri Nabi Ibrahim dan ibu dari Nabi Ismail as. Ia merupakan seorang wanita yang dihormati dalam agama Islam. Sebagaimana dikemukakan dalam kisah sebelumnya, bahwa Hajar pada awalnya adalah seorang pelayanan yang dihadiahkan Raja Firaun kepada Sarah, istri nabiyullah Ibrahim as. Dalam sejarah disebutkan bahwa Hajar merupakan seorang tokoh wanita yang mulia, ibu Nabi yang sabar, dan istri Nabi yang merupakan satu umat, kendati sendirian, ia wanita mulia bagi Ibrahim as.

Kekasih Allah, Ibrahim as. sangat merindukan anak dan keturunan. Beliau berdoa kepada Allah swt, baik dengan cara pelan-pelan maupun terang-terangan, agar Allah memberi beliau anak yang saleh. Doanya ini kemudian direkam dalam al-Quran: “Ya Tuhan kami, berikanlah kepada kami keturunan yang saleh.”
Untuk menjawab doa Ibrahim as., Allah menakdirkan Ibrahim bertemu dengan Hajar, yang kemudian menjadi Ibu Nabi Ismail as., ibu orang-orang Arab, ibu umat terbaik yang dikeluarkan untuk umat manusia. Hajar dihormati sebagai ibu pemimpin yang sangat penting, karena melalui Nabi Ismail as., ia menurunkan Nabi Muhammad SAW.

Di rumah Ibrahim, Hajar mendengar apa saja yang dikatakan dan didakwahkan Ibrahim. Sungguh ucapan Ibrahim as. adalah ucapan indah yang masuk ke dalam jiwa dan meninggalkan bekas yang baik di hatinya. Hajar merasa rohnya bersinar dengan sinar Ilahi. Ia merupakan wanita yang sangat tulus kepada majikannya; mencintai majikan wanitanya, mengabdi kepadanya dengan sempurna, melihat banyak hal pada diri Sarah yang tidak ia lihat pada wanita-wanita lain.

Suatu saat, Hajar mendapati Sarah sedang berdiri mengerjakan shalat, ia mendengar Sarah membaca ungkapan yang tidak ia pahami. Hanya saja, Hajar merasa bahwa ada percikan cahaya yang jatuh berguguran ke dalam jiwanya, ia merasa bahwa kedamaian merasuk ke dalam hatinya. Setelah itu, dengan santun dan malu, Hajar menghampiri dan bertanya kepada majikannya yang ahli ibadah, wanita taat. Ia bertanya: “Majikanku, Tuhan apa yang engkau sembah?” Kemudian Sarah berkata kepada Hajar dengan keimanan orang-orang yang tekun beribadah dan cahaya keyakinan: “Wahai wanita yang baik, kami menyembah Allah, yang tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Dia. Dia adalah pencipta langit dan bumi, Tuhan segala sesuatu, Maha Pencipta, dan Pencipta segala sesuatu, Dia-lah yang menghidupkan dan yang mematikan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.”

Sarah mulai menanam benih-benih iman dan bibit-bibit keyakinan pada diri Hajar, yang jiwanya merespons isyarat-isyarat iman dari Sarah. Ia menyampaikan apa-apa yang didakwahkan oleh suaminya, Ibrahim as. Dari situlah cahaya iman benar-benar menutupi hati Hajar. Hajar merasa bahwa sentuhan cahaya halus menembus jiwanya dan menyentuh hatinya, ia merasa dekat dengan sumber-sumber kebaikan dan mata air cahaya. Sekarang ia merasakan kehangatan iman dan keagungan dalam berhubungan dengan Allah swt.
Singkat cerita, setelah Hajar melahirkan Ismail, Sarah mulai merasa cemburu, ia meminta Ibrahim untuk membawa mereka pergi darinya. Allah mengungkapkan kepada Ibrahim bahwa ia harus mengambil Hajar dan Ismail, dan membawa mereka ke Mekah. Akhirnya, Nabi Ibrahim pun membawa Hajar dan Ismail, namun kemudian meninggalkan mereka, dan kembali ke Palestina. Sebelum Nabi Ibrahim kembali ke Palestina, Hajar bertanya kepadanya: “Untuk siapa kau meninggalkan kami di lembah ini dan dibiarkan begitu saja? Apakah Allah memerintahkan Anda untuk melakukan hal ini?” Nabi Ibrahim menjawab: “Ya”. Hajar kemudian berkata: “Kalau begitu, Allah tidak akan menyebabkan kita hilang.”

Dalam kondisi seperti itu, Nabi Ibrahim berserah diri kepada perintah Tuhannya, dan ia tetap bersabar menanggung perpisahan dari istri dan anaknya. Kemudian ia berdoa: “Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati. Ya Tuhan kami, (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezekilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur” (QS. Ibrahim: 37).

Karena kelangkaan air di padang gurun, ibu dan anak itu menderita kehausan. Siti Hajar berlari antara bukit Shafa dan Marwah untuk mencari air untuk anaknya. Setelah tujuh kali berputar di antara dua bukit, malaikat muncul di hadapannya. Malaikat membantu dan mengatakan kepadanya bahwa Tuhan telah mendengar tangisan Ismail, dan Dia akan menyediakan mereka air. Pada saat itu, Allah mengeluarkan air dari tanah di mana tumit Ismail berbaring. Mata air itu kemudian bernama zam-zam, dan menjadi sumber air suci.
Peristiwa yang dijalaninya antara Bukit Shafa dan Marwah dikenang oleh umat Islam saat mereka menunaikan ibadah haji, yakni yang dinamakan dengan sya’i (berlari-lari kecil sebanyak tujuh kali antara bukit Shafa dan Marwah). Kegiatan ini merupakan bagian integral dari ibadah Haji dan Umrah, yang melambangkan Hajar mencari air untuk diberikan kepada putranya, Ismail.

Kegiatan ritual berlari kecil tersebut dimulai dari Bukit Shafa yang terletak sekitar setengah mil dari Kakbah. Sementara Marwah terletak sekitar 100 m (330 kaki) dari Kakbah. Jarak antara Shafa dan Marwah adalah sekitar 450 m (1.480 kaki), sehingga tujuh kali putaran berjumlah sekitar 3,15 km (1,96 mil). Itulah bentuk perjuangan seorang ibu demi keselamatan anaknya dari kehausan dan kelaparan di padang pasir. Atas kekuasaan Allah, air zam-zam ini tidak pernah habis dan tidak akan pernah habis selamanya hingga hari kiamat nanti.[Sumber Heri Gunawan, S.Pd.I., M.Ag.]

Rabu, 14 Desember 2016

Rumah Sederhana Rasulullah saw

Selama ini kita hanya bisa membayangkan bagaimana kehidupan Rasulullah saw. dan para sahabat di kota Madinah. Bayang-bayang itu menemani kita saat membaca buku-buku sirah nabawiyah. Disebutkan masjid, rumah Rasulullah, rumah para sahabat, jalanan dan sebagainya. Kesederhanaanlah yang tampak paling jelas dalam bayangan kita itu.

Alangkah senangnya jika para ahli sirah nabawiyah berijtihad mevisualisasikan suasana kota Madinah dalam bentuk tiga dimensi (3D). Inilah yang dilakukan oleh pemerhati sirah nabawiyah sekaligus praktisi media asal Arab Saudi, Ahmad Al-Shugairi. Pemilik serial televisi dokumenter ‘Khawater’ ini berhasil membuat miniatur kota Madinah. Masjid Nabawi digambarkan dengan sangat jelas ukuran, kapasitas, dan bahan bangunannya. Bahkan rumah-rumah sahabat pun disebutkan dengan terperinci; di mana rumah Abu Bakar ra., Umar ra., dan sebagainya ditunjukkan dalam miniatur itu. Pembuatannya disesuaikan dengan teks-teks sejarah dalam sirah nabawiyah.
rumah rasul

Bila rumah beberapa orang sahabat diterangkan, tentulah rumah Rasulullah saw. disebutkan dengan lebih detail lagi. Rasulullah saw. memiliki beberapa rumah sesuai dengan jumlah istri beliau. Rumah-rumah itu dibangun di samping, bahkan menempel di Masjid Nabawi. Rumah-rumah nabi tersebut dibangun dengan bahan dari pelepah yang dicampur dengan tanah. Ada juga yang dibuat dari batu yang ditumpuk-tumpuk. Atapnya dari anyaman pelepah kurma. Lebar dan panjang satu rumah masing-masing berukuran 4.5 meter. Tinggi dindingnya 3 meter. Di dalam setiap rumah terdapat kamar berukuran panjang 3.5 meter, dan lebar 3 meter.

Sementara rumah Ibunda Aisyah memiliki dua pintu. Pintu barat, untuk jalan menuju masjid, dan pintu timur yang berada di lorong menuju rumah-rumah istri Rasulullah saw. yang lain. Pintu rumah-rumah itu berukuran lebar 0.7 meter, dan tinggi 1.5 meter. Seperti diceritakan Ibunda Aisyah, dalam kamar Rasulullah saw. terdapat tempat tidur yang terbuat dari pelepah kurma, sebuah bantal, dan kasur yang berisi ijuk.

Sangat jelas tampak kesederhanaan Rasulullah saw. dan keluarga. Sama sekali tidak terlihat kemewahan dalam kehidupan pemimpin dunia ini. Padahal dari rumah inilah rahmat disebarkan ke seluruh dunia. Rumah-rumah ini disebutkan dalam Al-Quran dengan istilah kamar-kamar. Bahkan menjadi nama sebuah surat, yaitu Surat Al-Hujurat.

Senin, 12 Desember 2016

Bilal, Sang Muadzin Rasulullah saw

Bilal, Sang Muadzzin

Kesedihan sebab ditinggal wafat oleh Rasulullah saw terus mengendap di hati Bilal. Dan kesedihan itu yang mendorongnya meninggalkan Madinah, dia bersama rombongan pasukan Fath Islamy berangkat menuju Syam, dan kemudian tinggal di Homs, Syria.

Sudah lama Bilal tak mengunjungi Madinah, hingga sampai pada suatu malam, Rasulullah hadir dalam mimpi Bilal, dan menegurnya, "Ya Bilal, Wa maa hadzal jafa ? Hai Bilal, mengapa engkau tak mengunjungiku ? Mengapa sampai seperti ini ?"
Image result for gambar masjid nabawi
Makam Rasulullah saw
Bilal pun bangun terperanjat, segera ia mempersiapkan perjalanan ke Madinah untuk berziarah ke makam Rasulullah. Sekian tahun sudah dia meninggalkan Rasulullah. Setiba di Madinah, Bilal bersedu sedan melepas rasa rindunya pada Rasulullah, kepada Sang Kekasih.

Saat itu, dua pemuda yang telah beranjak dewasa mendekatinya. Keduanya adalah cucu Rasulullah Hasan dan Husein. Dengan mata sembab oleh tangis, Bilal yang kian beranjak tua itupun memeluk kedua cucu Rasulullah tersebut.

Salah satu dari keduanya berkata kepada Bilal, "Paman, maukah engkau sekali saja mengumandangkan adzan untuk kami ? Kami ingin mengenang kakek kami."

Ketika itu, Umar bin Khattab yang saat itu telah menjadi Khalifah juga sedang melihat pemandangan mengharukan tersebut, dan beliaupun juga memohon kepada Bilal untuk mengumandangkan adzan, meski sekali saja.

Bilal pun memenuhi permintaan itu.

Saat waktu shalat tiba, dia naik pada tempat dahulu biasa dia adzan pada masa Rasulullah masih hidup.

Mulailah dia mengumandangkan adzan.
Related image
Raudhah
Saat lafadz Allahu Akbar dikumandangkan olehnya, mendadak seluruh Madinah senyap, segala aktifitas terhenti, semua terkejut, suara yang telah bertahun - tahun hilang, suara yang mengingatkan pada sosok Nan Agung, suara yang begitu dirindukan itu telah kembali.

Ketika Bilal meneriakkan kata 'Asyhadu an laa ilaha illallah', seluruh isi kota madinah berlarian ke arah suara itu sambil berteriak, bahkan para gadis dalam pingitan mereka pun keluar.

Dan saat bilal mengumandangkan 'Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah', Madinah pecah oleh tangisan dan ratapan yang sangat memilukan. Semua menangis, teringat masa-masa indah bersama Rasulullah, Umar bin Khattab yang paling keras tangisnya. Bahkan Bilal sendiri pun tak sanggup meneruskan adzannya, lidahnya tercekat oleh air mata yang berderai. Hari itu madinah mengenang masa saat masih ada Rasulullah diantara mereka.

Hari itu adalah adzan pertama dan terakhir bagi Bilal setelah Rasulullah wafat. Adzan yang telah menerbitkan rasa kerinduan penduduk Madinah kepada Rasulullah. Adzan yang tak bisa dirampungkan.

Dan pada saat itu, Kota Madinah banjir oleh air mata kerinduan kepada Rasulullah. 

اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ ، اللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ ، وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ 

Allahumma sholli ‘ala Muhammad wa ‘ala ali Muhammad kama shollaita ‘ala Ibrahim wa ‘ala ali Ibrahim, innaka hamidun majid. Allahumma barik ‘ala Muhammad wa ‘ala ali Muhammad kama barokta ‘ala Ibrahim wa ‘ala ali Ibrahim, innaka hamidun majid.” 

[Ya Allah, berilah shalawat kepada Muhammad dan kerabatnya karena engkau memberi shalawat kepada Ibrahim dan kerabatnya. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia. Ya Allah, berilah keberkahan kepada Muhammad dan kerabatnya karena engkau memberi keberkahan kepada Ibrahim dan kerabatnya. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia].